KISAH AWAL PARA TO MANURUNG - YAYASAN BINA INSAN CITA

KISAH AWAL PARA TO MANURUNG


oleh Jamal Passalowongi
Hari itu dunia kedewataan gempar, tiba-tiba terdengar kabar bahwa Sang PatotoE akan mengumpulkan semua dewa dunia atas dan dunia bawah untuk suatu pertemuan besar, maka disebarkanlah undangan keseluruh pelosok langit dan bumi. 
Saat hari itu tiba, berdatanganlah dewata yang tinggal di pratiwi (dunia bawah) ke Bottiq langit (dunia atas) diantar burung-burung langit. Semua rantai pintu langit dibuka, dan merekapun berkumpul di balairung langit. Suasana begitu ramai, mereka yang dari Pratiwi disambut meriah oleh para dewa Bottiq langi, ada yang berpelukan lama tidak berjumpa. Untuk diketahui tidak selalu dilakukan pertemuan antara kedua dunia ini, bahkan dalam catatan langit, ini baru kali ketiga sejak penciptaan itu ada.
Pertemuan pertama. Para dewa-dewa tua masih ingat masa-masa sulit ketika sering terjadi perang antara dunia bawah dan dunia atas. Padahal para dewa ini diciptakan oleh Dewata SeuwwaE (Yang Maha Kuasa) dari orang tua yang sama yaitu La Teppu Langi’ (Langit Segenap) dan We Sengngeng Linge’ (Ciptaan Sempurna) tetapi karena beberapa dewa berperangai buruk sehingga mereka saling berebut kuasa atas Alekawa (dunia tengah). Perang memperebutkan kekuasaan atas dunia tengah berlangsung ratusan tahun. Tapi pada akhirnya perang besar itu berhasil memasuki perdamaian setelah perundingan terus menerus diupayakan para dewa utama. Perdamaian pun tercipta, bahkan untuk melanggengkan perdamaian ini, dilakukanlah perkawinan atara dunia atas dengan dunia bawah.
Pertemuan kedua. Pertemuan ini sudah dalam masa damai, saat itu dunia atas dan dunia bawah sudah tidak ada masalah, malah mereka sudah menjalin ikatan yang harmonis. Saat itu To PatotoE sebagai dewa tertinggi mengumpulkan semua dewa untuk membicarakan masalah dunia tengah yang tidak berpenghuni. Sang PatotoE berniat untuk menyuburkan bumi dengan menurunkan beberapa orang keturunan dewa agar mereka dapat mengisi dunia tengah dengan manusia. 
Akhirnya dipilihlah Batara Guru dari dunia atas dan We Nyilitimo dari dunia bawah untuk melahirkan keturunannya di muka bumi ini. Maka berkembanglah manusia dengan berbagai macam ras dan suku bangsa. Dan setelah ras manusia berkembang di dunia tengah, Batara Guru dan seluruh dewa yang pernah diturunkan PatotoE kembali ke langit meninggalkan manusia dengan beberapa pesan-pesan penting agar menyembah mereka yang di atas Bottiq langi.
Masa itu masih terasa oleh beberapa dewa yang juga ikut diturunkan bersama Batara Guru, waktu itu Batara Guru oleh sang PatotoE dan ditempatkan dalam bambu kemudian di turunkan dengan pelagi diiringi kilat dan guntur yang saling bersahutan. Semua sedih mengantar Batara Guru turun ke dunia tengah. Selama tiga bulan di dunia tengah barulah kemudian Batara Guru dipertemukan dengan We Nyillitimo sepupunya dari dunia bawah. Demikianlah kenangan beberapa dewa ketika membicarakan pertemuan kedua dewa-dewa saat itu.
Tapi pertemuan ketiga ini untuk apa. Balairung istana langit menjadi riuh karena dewa-dewa saling berdiskusi satu dengan yang lain.
“Apalagi keinginan sang PatotoE mengumpulkan semua dewa kali ini?” kata seorang dewa tua yang dari tadi mengelus jenggot tebalnya.
“Entahlah, kita para dewa dunia atas dan dunia bawah-kan sudah tidak ada masalah.” sahut beberapa dewa menimpali pertanyaan tadi.
“Pertanyaan yang sulit, hanya sang PatotoE sendiri yang mengetahui maksudnya.” ujarnya sambil mengerutkan keningnya.
Dari dalam istana langit terdengar suara gong dan bunyi-bunyian ditabuh silih berganti, ini pertanda para dewa utama sudah mulai berdatangan di Balairung Langit. Benar saja tidak lama kemudian penjaga pintu langit membuka pintu utama langit, secara beriringan pimpinan para dewa memasuki tempat pertemuan. Mulai dari barisan dewa utama penguasa langit La Patigana Aji’ Sangkuru’ Wira To PalanroE, yang bertahta di Boting Langi’ (puncak Langit), digelar PatotoE dan Dewinya bernama We LettE’ Sompa (Petir yang disembah) bergelar Datu Pallinge (Sang Ratu Ibu) kemudian disusul penguasa bawah La Mata Timo’ (Mata dari timur, yang berarti matahari terbit), bergelar Guru ri Selle’ (Penguasa Selat) yang bersemayam di Buri Liu (Palung Laut) dan isterinya Sinau Toja ’penghuni air bergelar Masao Bessi’ ri Lapi TanaE (yang punya rumah besi di lapis tanah). Para dewa-dewa berdecak kagum melihat kebesaran para dewa utama penguasa dunia langit dan dunia bawah dengan pakaian kebesaran masing-masing.
Semua dewa di Balairung Langit segera berdiri menunduk takzim sampai pimpinan para dewa menduduki tempatnya masing-masing. Setelah itu barulah mereka duduk kembali.
“Selamat datang di botting langi, para dewa sekalian!” suara Sang PatotoE bergema dan berwibawa, sambil berdiri dari singgasana langit yang terbuat dari cahaya, bersinar terang dengan pelangi di setiap sudutnya.
“Aku sengaja mengundang kalian kemari, karena ingin mendiskusikan satu masalah!” ujar PatotoE memahami kebingungan para dewa di dalam Balairung Langit.
PatotoE kemudian menyampaikan bahwa saat ini dunia tengah atau Alekawa sudah sangat ramai, penduduk dunia tengah telah membentuk kerajaan-kerajaan besar di sana-sini. Akan tetapi, sayang sekali berberapa kerajaan saling bertempur dan membunuh satu dengan yang lainnya. Belum lagi di dalam kerajaan ada intrik-intrik politik untuk saling berebut tahta. Hal ini tentu sungguh ironis dan menyedihkan.
Muka sang PatotoE sedikit berubah, wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Manusia Alekawa yang diciptakan dari kebaikan sang PatotoE kini sudah tidak menunjukkan sikap-sikap baik dan berbudi lagi. Bumi sudah menjadi tempat pembantaian, bukan lagi tempat berdoa untuk Puang SeuwaE.
“Karena itu, saya sudah diskusikan dengan para dewa utama, akan mengambil langkah pencegahan!” kata sang PatotoE dengan suara sedikit keras dan bergema.
“Kita memiliki tanggung jawab moral terhadap lurusnya kembali jalan manusia, mengembalikan mereka untuk menuruti kaidah kemanusiaannya yaitu menyembah puang sewwaE!”
“Karena itu, saya akan mengirimkan beberapa orang dewa muda yang memenuhi kriteria untuk turun kembali ke Alekawa (dunia tengah) menjadi manusia unggul memimpin mereka yang sudah jauh dari ajaran-ajaran kebenaran!” Kata sang PatotoE sambil memukulkan tongkatnya ke lantai. tongkat itu bergema luar biasa, dan menimbulkan hentakan yang mengoyangkan Balairung Langit.
Sontak kata-kata sang PatotoE yang terakhir ini membuat semua yang hadir di Balairung menjadi ramai dan riuh sekali. Para dewa saling berpadangan, mereka rata-rata kaget dengan keputusan sang PatotoE. Ada yang menangis, dan berharap bukan dia yang harus dikirim ke Alekawa, muka mereka tiba-tiba berubah dilanda kecemsan yang luar biasa.
“Diam…semua!” suara keras Punggawa Langit yang melihat situasi sudah mulai riuh tidak terkendali. Ia memukulkan tongkatnya beberapa kali ke lantai untuk menghentikan suara riuh itu.
“Kita dengarkan petuah dan penjelasan Sang PatotoE!” ujarnya keras 
Seketika semua diam, kesunyian kembali melanda, beberapa isakan tangis tertahan masih terdengar. Tidak ada yang berani mengangkat suara.
“Bukan maksud kami untuk menyanggah perintah sang PatotoE. Akan tetapi, sebagian dari kami pernah ke Alekawa dan melihat sulitnya menjadi manusia di sana. Bahkan Ananda batara Gurupun juga mengalami kesulitan ketikan turun ke Alekawa, Puangku junjungan kami.” satu suara berat datang dari Panggung Selatan, tampaknya seorang dewa tua yang pernah menyertai Batara Guru turun ke Alekawa ribuan tahun silam.
Sebagian dewa memang mengetahui bagaimana diturunkannya Batara Guru dan We Nyillitimo ke Alekawa, menyimpan kesedihan-kesedihan tersendiri, memang hidup di Alekawa menghilangkan sebagian besar kemampuan mereka sebagai dewa, hidup menjadi sulit, mereka bila ingin bertahan harus melakukan apa yang dilakukan manusia, seperti bercocok tanam, berburu, dan membuat rumah.
Tetapi keputusan telah dibuat, oleh sang PatotoE dan tidak boleh disanggah, semua harus diterima dengan patuh dan taat. Kini para dewa mempersiapkan diri masing-masing, siapa yang akan terpilih turun ke Alekawa (dunia tengah) menemani kehidupan manusia. Memimpin manusia ke jalan yang benar, tidak saling membunuh atau dalam bahasa Bugis sianre bale (saling memakan seperti ikan)
Sambil menunggu musyawarah para dewa utama, seluruh dewa harap-harap cemas dengan hati was-was, mereka tidak banyak bersuara, suasana Balirung menjadi sepi, hanya suara isakan tertahan, atau batuk-batuk kecil yang kerap terdengar di sana-sini. Sampai akhirnya keluarlah dewa utama dari tempat musyawarah diiringi para Punggawa Langit. Dewa-dewa yang menunggu seakan menahan napas mereka melihat para dewa utama kembali duduk di singgasana.
Mereka pasrah... siapakah yang akan terpilih menjadi to manurung selanjutnya diturunkan ke seantero jagat raya. (bersambung)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KISAH AWAL PARA TO MANURUNG "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel